CATATAN KECIL PERJALANAN EPISTEMOLOGI


Dalam berbagai persoalan individu maupun kolekif persoalan personal maupun sosial tak pernah lepas dalam rana epistemologi. Pengkajian terhadap alam dan manusia merupakan persoalan yang paling urgen dalam pengetahuan karena menyangkut hal-hal yang bersifat fisik dan metafisik dalam tulisan ini saya hanya memantik pembaca atau mengarahkan pada struktur pengetahuan dan tentunya  itu tergantung perenungan masing-masing. 
Karena pada saat di mana saya memberikan secara langsung pada teman-teman mengenai makna dan hal-hal yang substantif dari pengetahuan sama halnya saya hanya mengajarkan kepada teman-teman sebuah doktrin yang bermuatan kesimpulan-kesimpulan semata. 
Dan juga kita akan bahas beberapa pandangan-pandangan para filosof terkait posibilitas pengetahuan sebagai perbandingan untuk dapat mengarahkan kita pada pengetahuan yang hakiki (kebenaran). 

Pandangan Phyro
Pada masa yunani kuno terdapat banyak para filosof yang berusaha untuk melakukan diskursus mengenai posibilitas pengetahuan salah satunya adalah phyro murid dari Socrates. Ia mengatakan bahwa untuk mengetahui itu harus memiliki alat untuk mendapatkan pengetahuan. Maka ia melakukan analisis terhadap manusia, apa sajah yang menjadi alat untuk pengetahuan? Jelas, bahwasanya dalam diri manusia hanya terdapat indra dan rasio(akal). Manusia tak akan mengetahui warna-warna dan bentuk sebuah objek tanpa melihat objek tersebut, ia tak kan mampu mengetahui bau bangkai dan bau parfum tanpa menggunakan indra penciuman, ia tak akan mengetahui suara seruling/suara gitar tanpa menggunakan indra pendengaran dan begitu seterusnya. Namun ketika ia dihadapkan pada banyaknya kesalahan-kesalahan yang di lakukan oleh indra maka ia mulai ragu bahwa manusia itu bisa mengetahui. Contohnya: Pada saat kita terbangun dari tidur kemudian kita melihat teman kita berhidung dua dan berkepala dua maka ia mengatakan bahwa indra ini telah berbohong, atau pada saat kita mencelupkan sebuah ranting pohon kedalam air maka setengahnya terlihat bengkok, maka ia mengatakan bahwa indra ini telah berbohong. Dengan demikian maka peluang manusia untuk mendapatkan pengetahuan adalah tidak ada. Kemudian tinggal rasio lagi yang perlu di analisis, jika indra yang mengantarkan gambar ke rasio saja salah apalagi rasio itu sendiri maka lebih banyak kesalahan akal dari pada kesalahan indra. Maka ia sampai pada kesimpulan bahwa mustahil manusia untuk dapat berpengetahuan.

Jawaban atas pandangan phyro
Benar apa yang di katakan oleh phyro namun manusia bukan berarti mustahil berpengetahuan. Karena pada saat di mana phyro mengetakan bahwa indra manusia itu dapat berbohong maka itu berdasar pada pengetahuan itu sendiri, phyro terlalu cepat mengambil kesimpulan terhadap segala sesuatu.
Misalnya: ketika kita terbangun dari tidur lalu kita melihat teman yang berkepala dua berhidung dua, tidakkah kita yakin bahwa ini sebuah kesalahan. Atau pada saat di mana kita melihat ranting yang di celupkan ke air itu terlihat patah, lalu kita mengatakan bahwa indra ini telah salah. Dari mana kita tahu bahwa indra ini telah salah? Bukankah itu juga pengetahuan, Dalam hal ini phyro melakukan generalisasi yang tidak objektiv. Contohnya si adit telah berbuat salah bukan berarti kita menghukumi si afrizal.
 
Al-gazali dan keraguannya.
Sebagai seorang filosof muslim beliau juga berperan dalam persoalan epistemologi, algazali sebagaimana Descartes beliau juga memulai aktivitasnya dari keraguan, ia meragukan segala sesuatu  yang ada. Ia juga berangkat dari instrument(alat pengetahuan) karena melihat banyaknya kesalahan yang di perbuat oleh indra maka ia meragukan segala yang ada. Ketika ia bersandar pada indra maka ia sangat rapuh, dan ketika ia bersandar pada akal bahwasanya akal menerima informasih dari indra maka ia juga meragukan akal. Sehingga sampailah ia pada sebuah keyakinan bahwa. Ia tidak pernah ragu bahwa ia merasa ragu, maka dengan keraguanku maka aku ada. Demikian juga Descartes ia juga sampai pada keyakinan bahwa ia tengah merasa ragu.


Dari pelbagai pandangan para filosof di atas setidaknya ada tiga hal yang menjadi persoalan dalam pengetahuan yakni indra, alam realitas yang di indrai dan rasio (akal). Satu hal yang perlu kita ketahui dan kita kaji bersama apakah alam materi ini dapat berubah atau kah tidak? Untuk membahas persoalan ini tentunya kita memerlukan penjelasan sains, untuk merelasikan alam ke indra. Banyak para ahli filsafat fisika  dan sain mengatakan bahwa alam semesta mengalami evolusi, lalu evolusi seperti apakah yang di maksud? Apakah evolusi dalam bentuk atau evolusi secara substantif? Sains menjelaskan bahwasanya air jika di panaskan dalam tingkat tertentu maka ia akan berubah menjadi uap dan uap dapat berubah menjadi gas jika di telusuri lebih lanjut maka akan sampai pada yang paling mendasar yaitu energy. Begitu pula dengan unsur  api, tanah, angin  dan semuanya berasal dari energy. 
Jika alam dapat berubah-ubah bentuknya maka bagaimana indra mau menentukan pengetahuan yang benar? Semua memiliki hukum-hukum ilmiah tertentu dan indra hanya sebatas melihat bentuk tapi tak mampu menganalisis hukum-hukum tersebut. Lalu yang manakah instrument yang mampu melihat hukum-hukum ilmiah tersebut? Di mungkinkan akal mampu untuk menganalisis hukum-hukum tersebut. Indra hanya mampu mengantarkan gambar ke rasio semata. Contoh api yang berada di alam realitas berbeda dengan api yang berada di alam rasio, api yang di luar itu membakar sedangkan api yang di dalam tidak membakar.

Tentunya untuk mengantarkan pengetahuan tentang api itu indra di perlukan entah itu indra perasa ataupun indra penglihatan. Dari penjelasan ini tentunya memberikan penjelasan penting bagi kita bahwa indra itu juga di perlukan oleh pengetahuan. 
Selanjutnya akal, bagaimana kerja akal? Dimungkinkan ada akal yang hanya menampilkan gambar atau bisa kita sebut sebagai pengetahuan dangkal, atau Rasio 1 dan silahkan teman-teman mengambil proposisi yang tepat, dan juga ada akal yang menganalisis berbagai bentuk yang di terima. Begitu banyak penjelasan dari filosof barat mengenai silogisme, misalnya aristotheles, ia mengatakan bahwa kerja akal itu adalah melakukan pemilahan-pemilahan, atau melakukan pengategorian di antaranya kategori kuantitas dan kualitas. Misalnya setiap sesuatu yang berhubungan dengan panjang di kategorikan dengan meter, setiap sesuatu yang berhubungan dengan berat di sebut dengan kilogram, setiap yang berhubungan dengan tinggi di sebut dengan sentimeter. Lalu akal juga menentukan kualitas dari segala sesuatu, ia mampu menentukan nilai dari suatu objek. Contoh saya tidak bisa melihat rambut perempuan yang bukan muhrim, saya tak boleh mengambil barang yang bukan menjadi milik saya, dan sebagainya.  Akal juga mampu melakukan generalisasi atas suatu objek, inilah yang di pakai oleh berbagai para ilmuan saintifik dalam mencari kebenaran eksperimennya. Misalnya kita hendak melakukan eksperimen tentang besi, sebuah besi kita panaskan dalam suhu yang tinggi dalam kurun waktu tertentu, maka besi itu akan memuai, begitu kita coba pada besi ke dua dan besi ke tiga maka hasilnya tetap sama. Maka akal kita melakukan generalisasi bahwa semua besi yang di panaskan dengan suhu yang tinggi seperti ini maka ia akan memuai. Nah seperti ini lah kerjanya akal tanpa kita melakukan eksperiman sampai 1000 besi atau lebih langsung kita simpulkan bahwa besi itu akan memuai. Betapa cepatnya akal dalam menentukan kebenaran. 

Jadi antara alam, indra dan rasio itu memiliki relasi yang erat dalam menentukan pengetahuan. Sekarang kita perlu menganalisa apakah ada rasio yang tidak bisa di intervensi oleh indra? Atau pengetahuan yang hadir secara langsung dalam diri manusia. Dalam hal ini rasio dapat di analogikan sebagai sebuah cermin, yang hanya memantulkan gambar dari sebuah objek materi, jika cermin tidak memilki setitik noda pun maka objek yang di pantulkan akan semakin jernih, jika cermin berwarna hijau  maka gambar yang di pantulkan juga pasti berwarna hijau. Seperti itulah gambaran  relasi alam, indra dan rasio namun belum  mendalam dan di mungkinkan masih ada beberapa struktur dalam rasio yang perlu di jelajahi untuk sampai pada kebenaran. 

Dari penjelasan di atas setidaknya mengarahkan kita untuk dapat menganalisa sampai di mana batasan-batasan alam, indra dan akal. Dalam sisi alam selalu pengkajiannya menggunakan sains dan sains bertumpu pada teori dan eksperiment selama sesuatu itu tidak dapat di eksperimentasi maka sains tidak mampu menjelaskan hal ini, sains hanya sampai pada adanya ruang hampa, yang sains tak mampu menjangkaunya. Lalu ketika sains telah berhenti maka alat yang mana lagi yang meneruskan sains ini? Dalam metode penelitian di katakan bahwa pada saat di mana penelitian saintis berhenti maka penelitian filosofis yang mampu melanjutkan dan mengisi kekosongan itu. Lalu yang menjadi pertanyaannya apa alat yang di pakai untuk berfilsafat? Apakah logika atau rasio(akal)? Lalu apa perbedaan logika dan rasio?. 

Jika melihat pengertian secara umum bahwa logika itu merupakan aturan atau hukum-hukum akal yang tujuannya untuk mencegah kesalahan berpikir. Jika demikian dimungkinkan yang menerima gambar sebuah objek dari alam realitas itu adalah logika, dalam artian ia hanya mampu menghadirkan gambar objek yang di cerap oleh indra. Lalu bagaimana dengan rasio? Apa peran rasio? 
Mungkin hanya inilah sedikit gambaran catatan kecil mengenai epistemology perlu kiranya kita mengkaji apa itu manusia? Apa itu alam semesta? Dan bagaimana relasi keduanya. Kerapuhan suatu ideology itu tergantung pada kerangka epistemologinya, dalam teori pengetahuan karya syahid murtadha mutahhari bahwa pengetahuan itu berlandaskan dengan pandangan dunia, kemudian melahirkan ideology dan ideology butuh pengamalan. Harus memiliki keselarasan antara teoritis dan praktis.



MOH.NUR.ALAMSYAH
Sabtu, 28 agust 2021


Komentar

Postingan Populer